Jumat, 08 September 2017

MENYULAP LUKA; BAHAGIA



"Bahagia dan luka memang dua hal yang berbeda, tapi kita semua berhak untuk memilih ingin menggunakan kata kerja yang mana"




Selamat datang kembali, di lembaran elektronik berisi cerita hati, hasil tarian jemari tepat saat hujan menyapa bumi.

Terimakasih untukmu yang masih di sini. Juga untukmu yang mungkin baru menghampiri.
Untukmu yang hanya datang untuk menghakimi, aku juga berterima kasih. Tapi kalau tidak keberatan, aku hanya ingin didengarkan.

Jadi mau mendengar?

Mari kita mulai;


Kali ini, izinkan aku bercerita tentang rasa yang pernah aku biarkan terus terpendam. Sebab aku kesulitan tentang bagaimana caranya membahasakan. Namun diam-diam, entah aku tidak menyadari atau aku sengaja tidak mau menyadari, rasa itu kian mendalam; tenggelam ke dasar hingga aku tidak tahu lagi bagaimana caranya kembali ke permukaan.

Akhir-akhir ini aku tidak bisa mengerti diriku sendiri. Begitu juga dengan hati yang mulai sulit diajak berkompromi. Sebagian orang mengatakan bahwa aku sedang dalam proses menemukan jati diri, sementara sebagian yang lain lagi-lagi sibuk menghakimi.

Berulang kali aku rafalkan mantra dalam kepala;

“Kamu harus baik-baik saja! Agar orang lain juga tidak perlu terluka”

“Berhenti! Sudahi! Atau yang lain akan tersakiti”

Aku begitu baik dalam mengingkari janji pada diri sendiri, namun kali ini aku pastikan akan aku tepati; untuk berhenti, untuk menyudahi segala sesuatu yang harusnya tidak perlu terjadi.

Sekarang yang perlu dilakukan adalah percaya. Percaya bahwa semua yang terjadi pasti ada alasannya. Percaya bahwa Yang Maha Esa punya rencana terbaik untuk setiap makhluknya. Entah itu dibungkus dalam kemasan bernama bahagia atau luka.

Bukannya naïf, tapi memang benar adanya bahwa kita tidak boleh egois soal rasa. Mungkin ini salah satu bingkisan sederhana yang mengajarkan manusia menjadi dewasa. Jadi, mari berbahagia, dengan siapa saja, bagaimanapun caranya; kita semua. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar