Sabtu, 09 Januari 2016

R E G R E T

source: om google




Koridor sangat sepi, tidak ada hal menarik apapun untuk dilihat. Sebagian siswa masih mengurung dirinya di dalam kelas, mungkin masih berkelut dengan tugasnya atau hanya memanfaatkan waktu istirahat untuk tidur. Sebagian yang lainnya, seperti biasa menghabiskan waktu istirahat di kantin. Sedangkan aku berdiri di bagian pinggiran pembatas koridor lantai atas, melongo ke bawah mengamati apapun yang tertangkap oleh mataku.

“Oi”

Merasa tidak perlu membalas sapanya, aku hanya melihat dalam waktu yang singkat ke arahnya, kemudian kembali sibuk mengamati apapun yang terlihat.
“Lagi liatain apaan sih?”
Lagi-lagi aku hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Karena sebenarnya tidak ada yang benar-benar aku lihat. 
“Pulang sekolah nanti mau nonton bareng gak?” 
Aku menarik nafas panjang “Kita gak sedekat itu untuk sekadar pergi nonton bareng”

Dia diam
  
Aku diam

Hening cukup lama sebelum akhirnya dia pergi meninggalkanku dengan tumpukan perasaan bersalah yang semakin berat.

Menyesal?

Itulah hal yang pada akhirnya akan selalu aku lakukan.

*
Jam pelajaran terakhir kosong karena guru yang bersangkutan sedang cuti hamil. Semua penghuni kelas sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada yang berkumpul dengan teman-teman geng-nya masing-masing sambil menggosipi hal-hal yang menarik bagi mereka tapi tidak bagiku, menertawakan hal-hal yang terlihat lucu bagi mereka tapi tidak sama sekali untukku. Ada yang berlarian kesana-kemari sambil membawa gagang sapu seolah mereka sedang berperang melawan alien berkepala seribu. Ada yang hanya memanfaatkan waktu untuk tidur. Sedangkan aku menenggelamkan diriku lebih jauh dari orang-orang di sekelilingku. Tidak ada alasan apapun yang mengharuskanku untuk bergabung dengan mereka. Aku memejamkan mataku, menambah volume suara pada music yang sedang mengalir di telingaku hingga tidak ada yang dapat aku dengar selain suara music.

Tidak ada yang menyangka bahwa Gibral sudah berdiri di depanku. Entah kenapa, sulit rasanya untuk tidak melihat ke dalam matanya.

Dia menarik nafas berat seperti akan mengatakan hal yang sangat sulit “Kenapa?” Jeda cukup lama “Kenapa kita ‘gak sedekat itu’ untuk sekedar pergi nonton bareng?”.

Aku menahan nafas saat mendengar pertanyaanya. Perasaan bersalah kembali menjelajahi perasaanku. Sulit rasanya untuk mengatakan ini, tapi aku harus mengatakannya sebelum semakin banyak hati yang terluka.


 “Kenapa?” Aku merasa perlu untuk mengulang pertanyaanya “Karena kita memang ‘gak sedekat itu’, memangnya apa lagi?” Rasanya seperti ada tumpukan kotoran yang menyumbat saluran pernafasanku, sehingga rasanya sulit sekali untuk sekedar bernafas.

Aku pergi, meninggalkannya yang masih terpaku tak percaya mendengar jawabanku. Aku tahu, bukan jawaban seperti yang ia harapkan. Tapi dia tidak tahu, aku juga tidak pernah berharap untuk memberinya jawaban seperti itu.

‘Kita tidak sedekat itu’ Setidaknya setelah beberapa waktu yang lalu, kalimat itu sangat pantas untuk diucapkan. Setelah aku menyadari bahwa aku tidak pantas untuk ‘sedekat itu dengannya’.

“Chaii…” Aku mengerucutkan ujung bibirku saat seseorang mengejutkanku.

“Lagi banyak utang? Kusut banget muka lo” Aku hanya berdecak kesal mendengar ocehan-sahabatku-Alfi.

“Fi?”

“Ada apa wahai sahabatku yang malang?”

“Gue gak salah kan?”

“Tentu saja….” Aku menghembuskan nafas legah mendengar jawaban Alfi setidaknya untuk beberapa saat sebelum dia melanjutkan “Engkau salah wahai sahabatku. SALAH BESAR”

Aku merasa marah mendengar jawaban Alfi, bukan marah karena dia tidak meng’iya’kan pertanyaanku. Aku merasa marah karena ia benar, jawaban yang dia berikan memang benar. AKU SALAH.

*

Aku berjalan menyusuri koridor kelas, pandanganku menyapu seluruh penjuru sekolah, berharap dapat menemukan sosoknya. Tapi nihil, dia tidak ada di mana-mana. “Kemana Gibral?” Aku membatin.

“Nyariin Gibral yaa?” Mataku nyaris keluar mendengar pertanyaa Alfi yang akhir-akhir ini sering muncul tiba-tiba. “Lagian lo sih, pake sok mau ngejauhin dia segala. Gak ada yang salah meskipun kalian tetap dekat seperti dulu. Kapasitas udara gak akan berkurang meskipun kalian tetap dekat. Intinya gak akan ada yang berubah meskipun kalian tetapsedekat dulu.”

Aku diam. Hatiku membenarkan ucapan Alfi. tapi aku lebih memilih untuk bergerak seperti kamauan logikaku. “Gibral siapa? Aku siapa?” Ya, seperti itulah yang diteriakkan oleh logikaku.

Aku akui, dulu kami dekat, sangat dekat malah. Aku tidak ingat bagaimana awalnya sehingga kami bisa sedekat itu. Tapi aku ingat bagaimana kami bisa sejauh ini. Ironis, saat dimana orang-orang biasanya malah mengingat bagian yang baik dan melupakan bagian yang buruk, aku malah sebaliknya.

“Eh itu Gibral” Alfi menoel pinggangku seraya menunjuk Gibral dengan cara yang tidak terlalu kentara. Aku melihat ke arah yang ditunjuk Alfi. Dan benar, di sanalah Gibral sedang berjalan bersama para bintang sekolah. Aku menahan nafas saat tak sengaja tatapanku tertubruk dengan matanya, tapi dia segera mengalihkan pandangannya. Kami berpapasan, tai dia sama sekali tidak melihat ke arahku.

Aku terpaku, ada bongkahan batu besar yang tidak kasat mata menghantam hatiku. Alfi melirikku, aku hanya meresponnya dengan senyum kecut.

Sudahlah semuanya sudah usai.

Aku tahu aku salah, aku terlanjur jatuh pada lubang yang aku buat sendiri. Aku kalah dengan keadaan.

Biarkan saja kisah itu tenggelam bersama hari. Suatu hari nanti, kisah itu akan aku ingat lagi, kemudian menyesali akhirnya.
----




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar