Koridor
sangat sepi, tidak ada hal menarik apapun untuk dilihat. Sebagian siswa masih
mengurung dirinya di dalam kelas, mungkin masih berkelut dengan tugasnya atau
hanya memanfaatkan waktu istirahat untuk tidur. Sebagian yang lainnya, seperti
biasa menghabiskan waktu istirahat di kantin. Sedangkan aku berdiri di bagian
pinggiran pembatas koridor lantai atas, melongo ke bawah mengamati apapun yang
tertangkap oleh mataku.
“Oi”
Merasa
tidak perlu membalas sapanya, aku hanya melihat dalam waktu yang singkat ke
arahnya, kemudian kembali sibuk mengamati apapun yang terlihat.
“Lagi
liatain apaan sih?”
Lagi-lagi
aku hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Karena sebenarnya tidak ada yang
benar-benar aku lihat.
“Pulang
sekolah nanti mau nonton bareng gak?”
Aku
menarik nafas panjang “Kita gak sedekat itu untuk sekadar pergi nonton bareng”
Dia
diam
Aku diam
Hening cukup lama sebelum akhirnya
dia pergi meninggalkanku dengan tumpukan perasaan bersalah yang semakin berat.
Menyesal?
Itulah hal yang pada akhirnya akan
selalu aku lakukan.
*
Jam pelajaran terakhir kosong karena
guru yang bersangkutan sedang cuti hamil. Semua penghuni kelas sibuk dengan
dunianya masing-masing. Ada yang berkumpul dengan teman-teman geng-nya
masing-masing sambil menggosipi hal-hal yang menarik bagi mereka tapi tidak
bagiku, menertawakan hal-hal yang terlihat lucu bagi mereka tapi tidak sama
sekali untukku. Ada yang berlarian kesana-kemari sambil membawa gagang sapu
seolah mereka sedang berperang melawan alien berkepala seribu. Ada yang hanya
memanfaatkan waktu untuk tidur. Sedangkan aku menenggelamkan diriku lebih jauh
dari orang-orang di sekelilingku. Tidak ada alasan apapun yang mengharuskanku
untuk bergabung dengan mereka. Aku memejamkan mataku, menambah volume suara
pada music yang sedang mengalir di telingaku hingga tidak ada yang dapat aku
dengar selain suara music.
Tidak ada yang menyangka bahwa
Gibral sudah berdiri di depanku. Entah kenapa, sulit rasanya untuk tidak
melihat ke dalam matanya.
Dia menarik nafas berat seperti akan
mengatakan hal yang sangat sulit “Kenapa?” Jeda cukup lama “Kenapa kita ‘gak
sedekat itu’ untuk sekedar pergi nonton bareng?”.
Aku menahan nafas saat mendengar
pertanyaanya. Perasaan bersalah kembali menjelajahi perasaanku. Sulit rasanya
untuk mengatakan ini, tapi aku harus mengatakannya sebelum semakin banyak hati
yang terluka.
“Kenapa?” Aku merasa perlu
untuk mengulang pertanyaanya “Karena kita memang ‘gak sedekat itu’, memangnya
apa lagi?” Rasanya seperti ada tumpukan kotoran yang menyumbat saluran
pernafasanku, sehingga rasanya sulit sekali untuk sekedar bernafas.
Aku pergi, meninggalkannya yang
masih terpaku tak percaya mendengar jawabanku. Aku tahu, bukan jawaban seperti
yang ia harapkan. Tapi dia tidak tahu, aku juga tidak pernah berharap untuk
memberinya jawaban seperti itu.
‘Kita tidak sedekat itu’ Setidaknya
setelah beberapa waktu yang lalu, kalimat itu sangat pantas untuk diucapkan.
Setelah aku menyadari bahwa aku tidak pantas untuk ‘sedekat itu dengannya’.
“Chaii…” Aku mengerucutkan ujung
bibirku saat seseorang mengejutkanku.
“Lagi banyak utang? Kusut banget
muka lo” Aku hanya berdecak kesal mendengar ocehan-sahabatku-Alfi.
“Fi?”
“Ada apa wahai sahabatku yang
malang?”
“Gue gak salah kan?”
“Tentu saja….” Aku menghembuskan
nafas legah mendengar jawaban Alfi setidaknya untuk beberapa saat sebelum dia
melanjutkan “Engkau salah wahai sahabatku. SALAH BESAR”
Aku merasa marah mendengar jawaban
Alfi, bukan marah karena dia tidak meng’iya’kan pertanyaanku. Aku merasa marah
karena ia benar, jawaban yang dia berikan memang benar. AKU SALAH.
*
Aku berjalan menyusuri koridor
kelas, pandanganku menyapu seluruh penjuru sekolah, berharap dapat menemukan
sosoknya. Tapi nihil, dia tidak ada di mana-mana. “Kemana Gibral?” Aku
membatin.
“Nyariin Gibral yaa?” Mataku nyaris
keluar mendengar pertanyaa Alfi yang akhir-akhir ini sering muncul tiba-tiba.
“Lagian lo sih, pake sok mau ngejauhin dia segala. Gak ada yang salah meskipun
kalian tetap dekat seperti dulu. Kapasitas udara gak akan berkurang meskipun
kalian tetap dekat. Intinya gak akan ada yang berubah meskipun kalian
tetapsedekat dulu.”
Aku diam. Hatiku membenarkan ucapan
Alfi. tapi aku lebih memilih untuk bergerak seperti kamauan logikaku. “Gibral
siapa? Aku siapa?” Ya, seperti itulah yang diteriakkan oleh logikaku.
Aku akui, dulu kami dekat, sangat
dekat malah. Aku tidak ingat bagaimana awalnya sehingga kami bisa sedekat itu.
Tapi aku ingat bagaimana kami bisa sejauh ini. Ironis, saat dimana orang-orang
biasanya malah mengingat bagian yang baik dan melupakan bagian yang buruk, aku
malah sebaliknya.
“Eh itu Gibral” Alfi menoel
pinggangku seraya menunjuk Gibral dengan cara yang tidak terlalu kentara. Aku
melihat ke arah yang ditunjuk Alfi. Dan benar, di sanalah Gibral sedang
berjalan bersama para bintang sekolah. Aku menahan nafas saat tak sengaja
tatapanku tertubruk dengan matanya, tapi dia segera mengalihkan pandangannya.
Kami berpapasan, tai dia sama sekali tidak melihat ke arahku.
Aku terpaku, ada bongkahan batu
besar yang tidak kasat mata menghantam hatiku. Alfi melirikku, aku hanya
meresponnya dengan senyum kecut.
Sudahlah semuanya sudah usai.
Aku tahu aku salah, aku terlanjur
jatuh pada lubang yang aku buat sendiri. Aku kalah dengan keadaan.
Biarkan saja kisah itu tenggelam
bersama hari. Suatu hari nanti, kisah itu akan aku ingat lagi, kemudian
menyesali akhirnya.
----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar