Capek?
Iya
Panas?
Iya
Lapar?
Iya
Pengen
cepat selesai? Iya
Pengen
cepat pulang? Iya
Setidaknya
itulah beberapa hal yang mengaung hebat di benakku beberapa waktu sebelum kelas
berakhir tadi.
Bel
berbunyi dengan merdunya di telingaku, mungkin juga di telinga beberapa siswa
yang lain, atau bahkan mungkin di telinga setiap siswa.
Baru
saja aku ingin ngacir dari kelas yang sumpek dan menebarkan bau-bau aneh yang
berasal dari perpaduan bau keringat, bedak dan berbagai jenis parfum yang
menjadi satu, aku teringat bahwa hari ini adalah hari dimana aku harus
melaksanakan tugasku sebagai warga Negara yang baik, jujur, sabar, serta
berhati mulia. Yaitu piket kelas. Ughhh –,-
Aku
memulai piket dengan menyapu bagian-bagian yang kotor tanpa banyak bicara dan
protes. Karena mengingat kejadian minggu lalu, di mana aku terpaksa
menyia-nyiakan waktuku untuk beradu mulut dulu dengan seorang teman yang tidak
mau melaksanakan tugasnya untuk mengepel. Sebenarnya saat itu aku tidak masalah
jika dia tidak mau mengepel, hanya saja satu kalimat yang meluncur dari
mulutnya “suka-suka aku” berhasil menguji kesabaranku. Tapi beberapa hari
kemudian dia memulai pembicaraan denganku. Mungkin dia merasa bersalah?
Entahlah, tapi bagus kalau benar begitu.
Dan
hari ini, aku sengaja tidak terlalu banyak bicara karena aku ingin menghindari
kejadian yang sama seperti minggu lalu, jadi aku tidak meminta siapapun dari
teman-temanku yang sedang piket untuk mengepel, biarkan saja salah satu dari
mereka menyadarinya sendiri.
Tapi
sialnya, rencanaku untuk menghindari kejadian yang sama seperti yang terjadi
minggu sia-sia hanya karena seorang teman yang tidak ingin ku sebut namanya
marah ketika aku katakan bahwa dia meninggalkan sedikit kotoran di tempat yang
telah dia sapu. Aku mengatakannya tanpa maksud apa-apa, bahkan saat
mengatakannya aku menyisipkan nada candaan di dalamnya. Tapi siapa sangka dia
marah hanya karena itu, dan menyemprotiku dengan segala umpatan kasar
yang hanya ku balas dengan tatapan tak mengerti. Kenapa dia sebegitu marah saat
yang aku katakan memang benar adanya dan tanpa sedikitpun maksud untuk melukai
perasaanya?. Mengapa dia begitu marah sampai mengataiku dengan perkataan yang
tidak pernah dikatakan siapapun padaku sebelumnya. Aku sering dilempari umpatan
kasar olehnya tapi aku tidak pernah marah karena aku mengerti bahwa dia hanya
punya kebiasaan bercanda yang seperti itu. Sangat tidak adil bukan jika dia
marah hanya karena aku mengatakan bahwa bagian yang disapunya masih
meninggalkan sedikit kotoran.
Miris
sekali, bagaimana caranya mempertahankan kedamaian penghuni bumi jika sebagian
manusia memiliki kebiasaan seperti yang dimiliki oleh dia yang masih ingin aku
anggap sebagai teman.
Awalnya
aku menerima semua umpatan yang disemprotkannya padaku. Aku berusaha untuk
baik-baik saja. Tapi kalimat “Kau anak baru dikelas ini, jadi
jangan bertingkah!” yang diucapkannya nyaris berhasil merobohkan bendungan air
di mataku. Sial, aku memang tidak dari awal duduk dikelasnya, tapi juga tidak
dapat dikatakan baru, karena sudah nyaris satu setengah tahun.
Setelah
cukup lama aku berusaha untuk menyesuaikan diri dan menjadi bagian dari mereka,
ucapannya seakan menegaskan bahwa usahaku untuk menjadi bagian dari mereka
sia-sia. Ucapan yang benar-benar menusuk tepat di bagian dimana tidak akan
pernah dapat disembuhkan. Kalaupun suatu hari sembuh, pasti masih akan
meninggalkan bekas yang dalam.
Jadi,
Dimana
tempatku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar