Kamis, 17 September 2015

DI MANA TEMPATKU?




Capek? Iya
Panas? Iya
Lapar? Iya
Pengen cepat selesai? Iya
Pengen cepat pulang? Iya

Setidaknya itulah beberapa hal yang mengaung hebat di benakku beberapa waktu sebelum kelas berakhir tadi.


Bel berbunyi dengan merdunya di telingaku, mungkin juga di telinga beberapa siswa yang lain, atau bahkan mungkin di telinga setiap siswa.

Baru saja aku ingin ngacir dari kelas yang sumpek dan menebarkan bau-bau aneh yang berasal dari perpaduan bau keringat, bedak dan berbagai jenis parfum yang menjadi satu, aku teringat bahwa hari ini adalah hari dimana aku harus melaksanakan tugasku sebagai warga Negara yang baik, jujur, sabar, serta berhati mulia. Yaitu piket kelas. Ughhh –,-

Aku memulai piket dengan menyapu bagian-bagian yang kotor tanpa banyak bicara dan protes. Karena mengingat kejadian minggu lalu, di mana aku terpaksa menyia-nyiakan waktuku untuk beradu mulut dulu dengan seorang teman yang tidak mau melaksanakan tugasnya untuk mengepel. Sebenarnya saat itu aku tidak masalah jika dia tidak mau mengepel, hanya saja satu kalimat yang meluncur dari mulutnya “suka-suka aku” berhasil menguji kesabaranku. Tapi beberapa hari kemudian dia memulai pembicaraan denganku. Mungkin dia merasa bersalah? Entahlah, tapi bagus kalau benar begitu.

Dan hari ini, aku sengaja tidak terlalu banyak bicara karena aku ingin menghindari kejadian yang sama seperti minggu lalu, jadi aku tidak meminta siapapun dari teman-temanku yang sedang piket untuk mengepel, biarkan saja salah satu dari mereka menyadarinya sendiri. 

Tapi sialnya, rencanaku untuk menghindari kejadian yang sama seperti yang terjadi minggu sia-sia hanya karena seorang teman yang tidak ingin ku sebut namanya marah ketika aku katakan bahwa dia meninggalkan sedikit kotoran di tempat yang telah dia sapu. Aku mengatakannya tanpa maksud apa-apa, bahkan saat mengatakannya aku menyisipkan nada candaan di dalamnya. Tapi siapa sangka dia marah hanya karena  itu, dan menyemprotiku dengan segala umpatan kasar yang hanya ku balas dengan tatapan tak mengerti. Kenapa dia sebegitu marah saat yang aku katakan memang benar adanya dan tanpa sedikitpun maksud untuk melukai perasaanya?. Mengapa dia begitu marah sampai mengataiku dengan perkataan yang tidak pernah dikatakan siapapun padaku sebelumnya. Aku sering dilempari umpatan kasar olehnya tapi aku tidak pernah marah karena aku mengerti bahwa dia hanya punya kebiasaan bercanda yang seperti itu. Sangat tidak adil bukan jika dia marah hanya karena aku mengatakan bahwa bagian yang disapunya masih meninggalkan sedikit kotoran. 

Miris sekali, bagaimana caranya mempertahankan kedamaian penghuni bumi jika sebagian manusia memiliki kebiasaan seperti yang dimiliki oleh dia yang masih ingin aku anggap sebagai teman.

Awalnya aku menerima semua umpatan yang disemprotkannya padaku. Aku berusaha untuk baik-baik saja. Tapi kalimat “Kau anak baru dikelas ini, jadi jangan bertingkah!” yang diucapkannya nyaris berhasil merobohkan bendungan air di mataku. Sial, aku memang tidak dari awal duduk dikelasnya, tapi juga tidak dapat dikatakan baru, karena sudah nyaris satu setengah tahun. 

Setelah cukup lama aku berusaha untuk menyesuaikan diri dan menjadi bagian dari mereka, ucapannya seakan menegaskan bahwa usahaku untuk menjadi bagian dari mereka sia-sia. Ucapan yang benar-benar menusuk tepat di bagian dimana tidak akan pernah dapat disembuhkan. Kalaupun suatu hari sembuh, pasti masih akan meninggalkan bekas yang dalam.
Jadi,
 
Dimana tempatku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar