Percaya atau tidak, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. hanya saja kita tak pernah tahu, apakah manusia tersebut mampu mengendalikan sisi gelapnya, atau dia di kendalikan oleh sisi gelapnya.
26 Oktober 2014
06.09
“Yuki! Kamu lupa memakai dasi!”
Aku membuka mata, nafasku memburu. Aku menyadari bahwa aku baru saja bermimpi tentang ibu yang mengingatkanku untuk memakai dasi. Ibuku sudah meninggal sebulan yang lalu. Aku pikir bagian itu juga mimpi, tetapi aku salah. Bagian itu nyata, bagian ketika ibu mengingatkanku untuk memakai dasi yang hanya tinggal mimpi.
Ketika ibu masih hidup, ibu selalu mengingatkanku untuk memakai dasi dan membawa bekal, karena aku memanglah orang yang pelupa.
Sesaat aku melirik jam beker dimeja belajarku, sudah pukul enam pagi, aku sudah kesiangan untuk sholat subuh. Ini semua karena ibu tidak mengingatkanku untuk memasang jam beker. “huufhh lagi – lagi aku lupa, bahwa ibu sudah sudah tidak ada”. Akupun beranjak dari tempat tidurku untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
****
Aku melangkah ke arah pintu lalu membukanya, diruang tengah terlihat seorang lelaki sedang tergeletak dilantai dengan pacahan botol minuman keras di sekitarnya. Dia lelaki yang sering ku panggil ayah. Tapi jujur, dari dalam hatiku yang paling dalam, aku tidak sudi memanggilnya ayah. Dia tidak pantas menjadi ayahku, dia tidak pantas memiliki ibuku, bahkan dia tidak pantas lahir ke muka bumi ini. Aku sangat membencinya, sangat-sangat membencinya. Ya, aku selalu membenci seseorang yang mendapatkan sesuatu yang tidak pantas untuk mereka dapatkan. Termasuk juga lelaki yang terpaksa ku panggil ayah itu. Kalau bukan karena kondisi perekonomian keluargaku, aku tidak akan pernah mengizinkan ibu untuk menjadi istri kedua dari laki-laki sialan itu. Dan sekarang ibupun meninggal gara-gara perlakuan kasar laki-laki sialan itu. Tapi untungnya saja, laki-laki sialan itu tidak mengusirku setelah kepergian ibu. Jadi aku bisa membantunya menghabiskan kekayaannya yang turun temurun itu.
Setelah sekian lama aku memperhatikan lelaki yang telah menghilangkan nyawa ibuku itu,aku merasa mual. Jijik melihat mukanya terlalu lama. Aku pun berlalu meninggalkannya tanpa menyentuhnya sedikitpun. Aku menuju ke dapur untuk sarapan, tapi saat kulihat meja makan yang masih kosong, refleks aku bertanya “Bu, sarapan untuk Yuki mana? Kok belum di siapin? Entar yuki telat bu.” Namun hanya di jawab oleh keheningan pagi. Aku melihat ke belakang untuk melihat dapur yang kosong, biasanya jam segini ibu sedang menyiapkan sarapan untukku. Aku menyeka air mata yang membasahi pipiku, sulit menahan agar air mata ini tidak tumpah. Sekarang, tidak akan ada lagi yang menyiapkan sarapan untukku, tidak akan ada lagi yang mengingatkanku untuk tidak lupa memakai dasi, dan tidak akan ada lagi orang yang bisa ku panggil ‘ibu’.
****
“Baik anak-anak, sampai jumpa besok, dan ingat untuk mengerjakan PR kalian.” Anak kelas XI Akuntansi 2 SMKN 2 Batam menjawab dengan dengungan tak jelas, bapak Hamzah hanya menggeleng – geleng kepala, lalu melangkah keluar kelas.
“Yuki.. ” sebuah suara menghentikan langkahku, aku menoleh untuk melihat si empunya suara .
“Lo…lo Yu.. yu.. ki kan?” Tanya si empunya suara itu dengan gagap. Entah gagap atau karena takut melihat muka ku yang sudah memasang tampang tidak enak.
“Iya, gue Yuki, emang kenapa?” Tanya ku dingin
“Gu..gu…gue cuma mau bilang makasih.” Jawab cewek berkacamata yang ada di hadapan ku dengan takut.
“Buat apa?” tanyaku heran, tanpa sedikitpun mengurangi kesan dingin di wajahku.
“Karena tadi lo udah bela gue waktu gue dituduh sama Juli dan anak-anak lainnya.” Ujar cewek cupu di hadapanku ini.
Mendengar ucapan cewek cupu yang ada dihadapanku ini, ingatan ku kembali pada kejadian saat istrahat tadi. Saat aku melihat seorang cewek cupu tengah disidang alias dipaksa untuk mengakui perbuatan yang bukan kesalahannya oleh murid-murid kelas XI Akuntansi 2, aku sama sekali tidak mengenal siapa cewek cupu itu, padahalkan aku satu kelas dengannya. Mungkin karena aku yang terlalu cuek atau mungkin karena cewek cupu itu jarang masuk sekolah. Tapi entah lah aku terlalu malas untuk memikirkan hal tidak penting itu. Aku berlalu tanpa memperdulikan cewek cupu yang tengah dibully itu.
Tapi sebuah suara yang sangat aku benci pemiliknya tiba-tiba angkat bicara “Dasar cewek cupu, udah cupu, freak, pecundang, suka neror orang lagi. lo pikir gue gak tau siapa yang udah nyimpan surat ancaman sama boneka yang mulutnya robek itu di tas gue? Dasar pengecut, udah ngaku aja!”
“Nia, kalau emang lo pelakunya, lo ngaku aja. Sebelum kami laporin lo ke kepala sekolah” kali ini si ketua kelas sok bijak yang angkat bicara.
“Bu..bu…kan gu..gu..e pela..ku..kunya, gu..gue gak tau apa-apa” jawab cewek cupu itu ketakutan.
“Terus kalau bukan lo siapa lagi hah? Cuma pengecut kayak lo yang berani neror orang.” Ujar si pemilik suara yang sangat ku benci itu.
Aku yang mendengar itu semua, segera menghampiri kerumunan orang yang sedang membully cewek cupu itu. Walaupun sikap dingin dan ketidak pedulianku yang biasanya aku perlihaytkan, aku tidak akan pernah membiarkan orang yang tidak bersalah di salahkan.
“Dan cuma pangecut juga yang bisa fitnah orang sembarangan tanpa bukti” sindirku, yang spontan membuat semua orang yang mendengarnya menoleh ke arahku termasuk orang yang ku benci itu. Setelah mendengar ucapanku, terlihat semua warga IX Akuntansi 2 saling berpandangan seakan sedang membetulkan ucapanku.
Tiba-tiba ketua kelas angkat bicara “Yang dikatakana Yuki benar, apa Juli punya bukti kalau Nia yang menerornya?”
Dasar ketua kelas tidak punya pendirian, padahal tadi dia jelas-jelas ikut menuduh si Nia yang meneror Juli. Sedangkan Juli terlihat kesal karena akhirnya semua warga XI Akuntansi 2 tidak lagi menyidang Nia, mereka akhirnya pergi meninggalkan Nia tanpa meminta maaf, dan ini yang tidak aku suka dari sifat anak kelas XI Akuntansi 2, walaupun sudah tau salah tapi tidak meminta maaf.
“Yu..ki?” cewek cupu yang bernama Nia itu melambaikan tangannya didepan muka ku. Karena melihatku hanya diam sedari tadi.
“Apaan sih lo?” ujarku menepis tangan Nia dari depan mukaku. “Lo gak perlu bilang terimakasih ke gue, karena gue sama sekali tidak merasa membantu lo” sambungku lagi lalu pergi meninggalkannya yang terlihat takut sekaligus heran.
Sedangkan aku berjalan meninggalkan Nia, aku merasa sedang diawasi sedari tadi. Sejak Nia menghampiriku. Entah orang itu sedang mengawasiku atau sedang mengawasi Nia?.
****
“Cewek paling jutek”. Kata kata itu bergema ditelingaku dan langsung menusuk ke dalam hatiku yang paling dalam saat menyaksikan segerombolan cewek-cewek yang kuyakini sedang membicarakanku saat aku lewat. Dasar cewek-cewek bibir seribu, kenapa mereka tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka yang suka membicarakan orang-orang yang sedang lewat di depan mereka. Ingin rasanya ku cincang mulut mereka satu persatu lalu kujadikan makanan ayam. Apalagi mulutnya si Juli yang paling keras suaranya saat membicarakan orang. Sudah merasa yang paling sempurna saja. Tapi sayang aku masih belum menemukan waktu yang tepat untuk mencincang mulut mereka, jadi yang bisa ku lakukan sekarang hanyalah menarik nafas panjang lalu pergi meninggalkan mereka.
Bel sekolah berbunyi keras, menandakan sudah tiba saatnya semua siswa istirahat. Suara sorakan gembira keluar dari setiap mulut warga XI Akuntansi 2 layaknya seorang tahanan yang baru saja dibebaskan dari penjara.
“Ha..hai Yuki, lo enggak ke kantin?” tiba-tiba ada seorang cewek berdiri dihadapanku, aku pandangi cewek itu dari ujung kaki sampai ujung kepala, yep tidak salah lagi ini cewek cupu yang kemarin.
“Enggak ada duit, emangnya lo mau traktir gue?” jawabku ketus dengan wajah yang masih tetap dingin.
“Ma..maaf ya, gu..gu..e.. gak bi..bisa trak..tir lo. Ta..pi kalau lo maa.. mau, lo bi..sa ma..makan be..bekal gue kok.” Jawab Nia si cewek cupu sambil mendorongkan kotak makannya ke padaku.
“Gak usah, gak nafsu gue makan makanan lo” jawabku lalu pergi dari hadapannya.
Seperti biasa, saat istirahat kerjaanku adalah mendekam di perpustakaan sekolah. Mendekam diperpustakaan sekolah yang tenang adalah pilihan terbaik untuk menghabiskan jam istirahat.
Tapi sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntunganku, baru saja aku menginjakkan kaki ku diperpustakaan, tiba-tiba saja guru penjaga perpustakaan menghentikanku.
“Yuki..”
“Ada apa pak?” tanyaku pada guru yang menjaga perpustakaan
“Mana buku yang kamu pinjam, kenapa belum di kembalikan?” Tanya guru penjaga perpustakaan.
“E..e… saya lupa pak.” Jawabku mencoba mencari alasan. Tentu saja aku bukannya lupa, melainkan buku itu memang sudah tidak ada di tanganku lagi.
“Lupa..lupa… itu terus alasan kamu, pokoknya bapak tidak mau tau, sekarang kamu harus membereskan buku-buku yang berserakan diperpustakaan ini sebagai hukuman”
“Pak tunggu pak.” Tiba-tiba ada suara yang ku yakini pemiliknya adalah orang yang tidak asing lagi bagiku. “Pak, Yuki tidak salah pak, saya yang salah, saya yang meminjam buku yang Yuki pinjam dari perpustakaan tapi belum saya kembalikan.” Sambungnya lagi yang tak lain adalah Nia si empunya suara tersebut.
Nia, ada apa sebenarnya dengan cewek ini, kenapa dia selalu membantuku akhir-akhir ini? apa mungkin karena aku pernah membantunya? Eh tunggu sebentar, tadi dia berbicara dengan lancar dan tidak gagap. Benar-benar cewek aneh.
“Ya kalau begitu, kalian harus membereskan perpustakaan ini berdua, cepat kerjakan sekarang!!” perintah bapak penjaga perpustakaan.
Keheningan menyelimuti kami saat sedang membereskan perpustakaan. Sebelum akhirnya aku bertanya “Sebenarnya mau lo apa sih? kenapa lo mau bantuin gue?”
Bukannya menjawab Nia hanya tersenyum lembut penuh misteri. Dasar cewek aneh. Namun tak lama kemudian ia pun menjawab “Gue Cuma mau berteman sama lo” aku sempat tercengang mendengar jawabannya, baru kali ini ada yang mau berteman denganku.
“Yakin lo mau jadi temen gue?” tanyaku dingin “Gak difikir-fikir dulu?” sambungku lagi.
Nia hanya mengangguk mantap. Setelah itu keheningan kembali menyelimuti kami sampai hukuman kami selesai.
****
Ini adalah kedua kalinya aku merasa ada yang menguntitku, namun setiap kali aku melihat kebelakang, aku tidak menemukan siapapun. Karena merasa tidak nyaman, aku pun memutuskan untuk sembunyi dan aku melihat orang yang sedang menguntitku sedari tadi sedang kebingungan mencariku. Betapa terkejutnya aku, saat ku ketahui ternyata yang menguntitku adalah Juli dan di tangannya terdapat sebuah kayu besar. Tidak salah lagi, dia pasti berniat mencelakaiku, tapi sebelum dia mencelakaiku, aku akan mencelakakannya terlebih dahulu.
“Hai Juli, lo lagi cari siapa?” tanyaku dengan senyum evil-ku dan saat Juli melihat ke arahku yang berdiri dibelakangnya, aku langsung memukul kepalanya hingga ia pingsan. Lalu aku membawa Juli ke gudang belakang sekolah, karena memang lokasi kami saat ini tidak jauh dari sekolah. Aku mengikat Juli di sebuah kursi, ini adalah saat yang ku nanti-nanti, saatnya aku melakukan hal yang seharusnya ku lakukan dari dulu. Juli akhirnya pun sadar, ia terlihat bingung dengan keadaannya sekarang. “Gue dimana?”
“Lo mau tau lo ada di mana? lo ada di ujung maut.” Ujarku sambil tetawa penuh kemenangan.
“Apa yang mau lo lakuin ke gue Yuki?” Tanya Juli yang terlihat ketakutan melihat pisau yang ada di tanganku.
“Lo mau tau gue mau apa? gue mau buat lo senasib sama boneka yang lo temuin di tas lo beberapa waktu yang lalu” jawabku sambil memainkan pisau yang ada di tanganku.
“Boneka dengan mulut sobek itu?” Tanya Juli lagi.
“Iya, lo tau nggak, siapa yang nyimpan boneka dan surat ancaman itu ditas lo? Gue orangnya.” Ujarku lagi.
“Tapi kenapa?” Tanya juli.
“Lo masih Tanya kenapa?? karena gue benci sama lo, sama mulut lo yang tiap hari kerjaannya menghina dan ngomongin orang itu” jawabku lagi penuh emosi.
“Dan sekarang waktu yang tepat untuk mengakhiri hidup lo Juli” ujarku tertawa penuh kemenangan, sedangkan Juli hanya menangis ketakutan sambil berteriak minta pertolongan.
Aku mulai menggoreskan pisauku di sekitar bibir Juli, darah segar mengucur deras dan Juli hanya meringis kesakitan. Aku terus melakukannya hingga bibirnya tidak berbentuk lagi. dan terakhir, aku menancapkan pisauku diperut Juli hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku tertawa penuh kemenangan melihat keadaan Juli yang sudah tidak berdaya. Namun tiba-tiba tawaku terhenti saat ku dengar sebuah kaki tidak sengaja menginjak ranting yang terdapat di gudang itu dan ku yakini ada orang lain selain aku dan Juli di gudang ini. Tidak salah lagi, aku melihat sebuah sepatu yang sepertinya tidak asing bagiku. Iya itu sepatu Nia, cewek cupu itu. Aku segera menghampirinya yang sedang berusaha melarikan diri, tapi sayang, kecepatannya tidak dapat menandingiku yang memang atlet dalam berlari.
“Ngapain lo di sini hah? mau jadi pahlawan?” tanyaku pada Nia yang sudah ada dalam cengkramanku.
“Lo pembunuh Yuki.” Ujar Nia dengan gemetar.
“Iya gue emang pembunuh, dan itu impian gue dari dulu. Membunuh orang yang seharusnya tidak pernah hadir ke muka bumi ini, termasuk lo!!” ujarku pada Nia.
Tidak sempat Nia berbicara lagi, ia sudah menghembuskan nafas terakhirnya karena pisau yang ku pegang telah berpindah ke perut Nia.
Aku pun pergi meninggalkan mayat Nia dan mayat Juli di gudang itu. Aku pulang kerumah dan melihat orang yang telah menghilangkan nyawa ibuku seperti biasanya tengah terkapar karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. Terlintas di benakku untuk mengirimnya ke neraka saat ini juga. Lalu ku ambil pisau yang ku gunakan untuk membunuh Juli dan Nia dari saku rokku, lalu ku tancapkan diperut laki-laki sialan itu sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku tertawa puas dengan semua yang telah ku lakukan, dan inilah aku, seorang pembunuh. Aku telah membunuh orang yang sangat aku benci, aku telah membunuh orang yang ingin menjadi temanku, aku telah membunuh orang yang telah menghilangkan nyawa ibuku, dan terakhir, aku telah membunuh diriku sendiri.
Aku membuka mata, nafasku memburu. Aku menyadari bahwa aku baru saja bermimpi tentang ibu yang mengingatkanku untuk memakai dasi. Ibuku sudah meninggal sebulan yang lalu. Aku pikir bagian itu juga mimpi, tetapi aku salah. Bagian itu nyata, bagian ketika ibu mengingatkanku untuk memakai dasi yang hanya tinggal mimpi.
Ketika ibu masih hidup, ibu selalu mengingatkanku untuk memakai dasi dan membawa bekal, karena aku memanglah orang yang pelupa.
Sesaat aku melirik jam beker dimeja belajarku, sudah pukul enam pagi, aku sudah kesiangan untuk sholat subuh. Ini semua karena ibu tidak mengingatkanku untuk memasang jam beker. “huufhh lagi – lagi aku lupa, bahwa ibu sudah sudah tidak ada”. Akupun beranjak dari tempat tidurku untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
****
Aku melangkah ke arah pintu lalu membukanya, diruang tengah terlihat seorang lelaki sedang tergeletak dilantai dengan pacahan botol minuman keras di sekitarnya. Dia lelaki yang sering ku panggil ayah. Tapi jujur, dari dalam hatiku yang paling dalam, aku tidak sudi memanggilnya ayah. Dia tidak pantas menjadi ayahku, dia tidak pantas memiliki ibuku, bahkan dia tidak pantas lahir ke muka bumi ini. Aku sangat membencinya, sangat-sangat membencinya. Ya, aku selalu membenci seseorang yang mendapatkan sesuatu yang tidak pantas untuk mereka dapatkan. Termasuk juga lelaki yang terpaksa ku panggil ayah itu. Kalau bukan karena kondisi perekonomian keluargaku, aku tidak akan pernah mengizinkan ibu untuk menjadi istri kedua dari laki-laki sialan itu. Dan sekarang ibupun meninggal gara-gara perlakuan kasar laki-laki sialan itu. Tapi untungnya saja, laki-laki sialan itu tidak mengusirku setelah kepergian ibu. Jadi aku bisa membantunya menghabiskan kekayaannya yang turun temurun itu.
Setelah sekian lama aku memperhatikan lelaki yang telah menghilangkan nyawa ibuku itu,aku merasa mual. Jijik melihat mukanya terlalu lama. Aku pun berlalu meninggalkannya tanpa menyentuhnya sedikitpun. Aku menuju ke dapur untuk sarapan, tapi saat kulihat meja makan yang masih kosong, refleks aku bertanya “Bu, sarapan untuk Yuki mana? Kok belum di siapin? Entar yuki telat bu.” Namun hanya di jawab oleh keheningan pagi. Aku melihat ke belakang untuk melihat dapur yang kosong, biasanya jam segini ibu sedang menyiapkan sarapan untukku. Aku menyeka air mata yang membasahi pipiku, sulit menahan agar air mata ini tidak tumpah. Sekarang, tidak akan ada lagi yang menyiapkan sarapan untukku, tidak akan ada lagi yang mengingatkanku untuk tidak lupa memakai dasi, dan tidak akan ada lagi orang yang bisa ku panggil ‘ibu’.
****
“Baik anak-anak, sampai jumpa besok, dan ingat untuk mengerjakan PR kalian.” Anak kelas XI Akuntansi 2 SMKN 2 Batam menjawab dengan dengungan tak jelas, bapak Hamzah hanya menggeleng – geleng kepala, lalu melangkah keluar kelas.
“Yuki.. ” sebuah suara menghentikan langkahku, aku menoleh untuk melihat si empunya suara .
“Lo…lo Yu.. yu.. ki kan?” Tanya si empunya suara itu dengan gagap. Entah gagap atau karena takut melihat muka ku yang sudah memasang tampang tidak enak.
“Iya, gue Yuki, emang kenapa?” Tanya ku dingin
“Gu..gu…gue cuma mau bilang makasih.” Jawab cewek berkacamata yang ada di hadapan ku dengan takut.
“Buat apa?” tanyaku heran, tanpa sedikitpun mengurangi kesan dingin di wajahku.
“Karena tadi lo udah bela gue waktu gue dituduh sama Juli dan anak-anak lainnya.” Ujar cewek cupu di hadapanku ini.
Mendengar ucapan cewek cupu yang ada dihadapanku ini, ingatan ku kembali pada kejadian saat istrahat tadi. Saat aku melihat seorang cewek cupu tengah disidang alias dipaksa untuk mengakui perbuatan yang bukan kesalahannya oleh murid-murid kelas XI Akuntansi 2, aku sama sekali tidak mengenal siapa cewek cupu itu, padahalkan aku satu kelas dengannya. Mungkin karena aku yang terlalu cuek atau mungkin karena cewek cupu itu jarang masuk sekolah. Tapi entah lah aku terlalu malas untuk memikirkan hal tidak penting itu. Aku berlalu tanpa memperdulikan cewek cupu yang tengah dibully itu.
Tapi sebuah suara yang sangat aku benci pemiliknya tiba-tiba angkat bicara “Dasar cewek cupu, udah cupu, freak, pecundang, suka neror orang lagi. lo pikir gue gak tau siapa yang udah nyimpan surat ancaman sama boneka yang mulutnya robek itu di tas gue? Dasar pengecut, udah ngaku aja!”
“Nia, kalau emang lo pelakunya, lo ngaku aja. Sebelum kami laporin lo ke kepala sekolah” kali ini si ketua kelas sok bijak yang angkat bicara.
“Bu..bu…kan gu..gu..e pela..ku..kunya, gu..gue gak tau apa-apa” jawab cewek cupu itu ketakutan.
“Terus kalau bukan lo siapa lagi hah? Cuma pengecut kayak lo yang berani neror orang.” Ujar si pemilik suara yang sangat ku benci itu.
Aku yang mendengar itu semua, segera menghampiri kerumunan orang yang sedang membully cewek cupu itu. Walaupun sikap dingin dan ketidak pedulianku yang biasanya aku perlihaytkan, aku tidak akan pernah membiarkan orang yang tidak bersalah di salahkan.
“Dan cuma pangecut juga yang bisa fitnah orang sembarangan tanpa bukti” sindirku, yang spontan membuat semua orang yang mendengarnya menoleh ke arahku termasuk orang yang ku benci itu. Setelah mendengar ucapanku, terlihat semua warga IX Akuntansi 2 saling berpandangan seakan sedang membetulkan ucapanku.
Tiba-tiba ketua kelas angkat bicara “Yang dikatakana Yuki benar, apa Juli punya bukti kalau Nia yang menerornya?”
Dasar ketua kelas tidak punya pendirian, padahal tadi dia jelas-jelas ikut menuduh si Nia yang meneror Juli. Sedangkan Juli terlihat kesal karena akhirnya semua warga XI Akuntansi 2 tidak lagi menyidang Nia, mereka akhirnya pergi meninggalkan Nia tanpa meminta maaf, dan ini yang tidak aku suka dari sifat anak kelas XI Akuntansi 2, walaupun sudah tau salah tapi tidak meminta maaf.
“Yu..ki?” cewek cupu yang bernama Nia itu melambaikan tangannya didepan muka ku. Karena melihatku hanya diam sedari tadi.
“Apaan sih lo?” ujarku menepis tangan Nia dari depan mukaku. “Lo gak perlu bilang terimakasih ke gue, karena gue sama sekali tidak merasa membantu lo” sambungku lagi lalu pergi meninggalkannya yang terlihat takut sekaligus heran.
Sedangkan aku berjalan meninggalkan Nia, aku merasa sedang diawasi sedari tadi. Sejak Nia menghampiriku. Entah orang itu sedang mengawasiku atau sedang mengawasi Nia?.
****
“Cewek paling jutek”. Kata kata itu bergema ditelingaku dan langsung menusuk ke dalam hatiku yang paling dalam saat menyaksikan segerombolan cewek-cewek yang kuyakini sedang membicarakanku saat aku lewat. Dasar cewek-cewek bibir seribu, kenapa mereka tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka yang suka membicarakan orang-orang yang sedang lewat di depan mereka. Ingin rasanya ku cincang mulut mereka satu persatu lalu kujadikan makanan ayam. Apalagi mulutnya si Juli yang paling keras suaranya saat membicarakan orang. Sudah merasa yang paling sempurna saja. Tapi sayang aku masih belum menemukan waktu yang tepat untuk mencincang mulut mereka, jadi yang bisa ku lakukan sekarang hanyalah menarik nafas panjang lalu pergi meninggalkan mereka.
Bel sekolah berbunyi keras, menandakan sudah tiba saatnya semua siswa istirahat. Suara sorakan gembira keluar dari setiap mulut warga XI Akuntansi 2 layaknya seorang tahanan yang baru saja dibebaskan dari penjara.
“Ha..hai Yuki, lo enggak ke kantin?” tiba-tiba ada seorang cewek berdiri dihadapanku, aku pandangi cewek itu dari ujung kaki sampai ujung kepala, yep tidak salah lagi ini cewek cupu yang kemarin.
“Enggak ada duit, emangnya lo mau traktir gue?” jawabku ketus dengan wajah yang masih tetap dingin.
“Ma..maaf ya, gu..gu..e.. gak bi..bisa trak..tir lo. Ta..pi kalau lo maa.. mau, lo bi..sa ma..makan be..bekal gue kok.” Jawab Nia si cewek cupu sambil mendorongkan kotak makannya ke padaku.
“Gak usah, gak nafsu gue makan makanan lo” jawabku lalu pergi dari hadapannya.
Seperti biasa, saat istirahat kerjaanku adalah mendekam di perpustakaan sekolah. Mendekam diperpustakaan sekolah yang tenang adalah pilihan terbaik untuk menghabiskan jam istirahat.
Tapi sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntunganku, baru saja aku menginjakkan kaki ku diperpustakaan, tiba-tiba saja guru penjaga perpustakaan menghentikanku.
“Yuki..”
“Ada apa pak?” tanyaku pada guru yang menjaga perpustakaan
“Mana buku yang kamu pinjam, kenapa belum di kembalikan?” Tanya guru penjaga perpustakaan.
“E..e… saya lupa pak.” Jawabku mencoba mencari alasan. Tentu saja aku bukannya lupa, melainkan buku itu memang sudah tidak ada di tanganku lagi.
“Lupa..lupa… itu terus alasan kamu, pokoknya bapak tidak mau tau, sekarang kamu harus membereskan buku-buku yang berserakan diperpustakaan ini sebagai hukuman”
“Pak tunggu pak.” Tiba-tiba ada suara yang ku yakini pemiliknya adalah orang yang tidak asing lagi bagiku. “Pak, Yuki tidak salah pak, saya yang salah, saya yang meminjam buku yang Yuki pinjam dari perpustakaan tapi belum saya kembalikan.” Sambungnya lagi yang tak lain adalah Nia si empunya suara tersebut.
Nia, ada apa sebenarnya dengan cewek ini, kenapa dia selalu membantuku akhir-akhir ini? apa mungkin karena aku pernah membantunya? Eh tunggu sebentar, tadi dia berbicara dengan lancar dan tidak gagap. Benar-benar cewek aneh.
“Ya kalau begitu, kalian harus membereskan perpustakaan ini berdua, cepat kerjakan sekarang!!” perintah bapak penjaga perpustakaan.
Keheningan menyelimuti kami saat sedang membereskan perpustakaan. Sebelum akhirnya aku bertanya “Sebenarnya mau lo apa sih? kenapa lo mau bantuin gue?”
Bukannya menjawab Nia hanya tersenyum lembut penuh misteri. Dasar cewek aneh. Namun tak lama kemudian ia pun menjawab “Gue Cuma mau berteman sama lo” aku sempat tercengang mendengar jawabannya, baru kali ini ada yang mau berteman denganku.
“Yakin lo mau jadi temen gue?” tanyaku dingin “Gak difikir-fikir dulu?” sambungku lagi.
Nia hanya mengangguk mantap. Setelah itu keheningan kembali menyelimuti kami sampai hukuman kami selesai.
****
Ini adalah kedua kalinya aku merasa ada yang menguntitku, namun setiap kali aku melihat kebelakang, aku tidak menemukan siapapun. Karena merasa tidak nyaman, aku pun memutuskan untuk sembunyi dan aku melihat orang yang sedang menguntitku sedari tadi sedang kebingungan mencariku. Betapa terkejutnya aku, saat ku ketahui ternyata yang menguntitku adalah Juli dan di tangannya terdapat sebuah kayu besar. Tidak salah lagi, dia pasti berniat mencelakaiku, tapi sebelum dia mencelakaiku, aku akan mencelakakannya terlebih dahulu.
“Hai Juli, lo lagi cari siapa?” tanyaku dengan senyum evil-ku dan saat Juli melihat ke arahku yang berdiri dibelakangnya, aku langsung memukul kepalanya hingga ia pingsan. Lalu aku membawa Juli ke gudang belakang sekolah, karena memang lokasi kami saat ini tidak jauh dari sekolah. Aku mengikat Juli di sebuah kursi, ini adalah saat yang ku nanti-nanti, saatnya aku melakukan hal yang seharusnya ku lakukan dari dulu. Juli akhirnya pun sadar, ia terlihat bingung dengan keadaannya sekarang. “Gue dimana?”
“Lo mau tau lo ada di mana? lo ada di ujung maut.” Ujarku sambil tetawa penuh kemenangan.
“Apa yang mau lo lakuin ke gue Yuki?” Tanya Juli yang terlihat ketakutan melihat pisau yang ada di tanganku.
“Lo mau tau gue mau apa? gue mau buat lo senasib sama boneka yang lo temuin di tas lo beberapa waktu yang lalu” jawabku sambil memainkan pisau yang ada di tanganku.
“Boneka dengan mulut sobek itu?” Tanya Juli lagi.
“Iya, lo tau nggak, siapa yang nyimpan boneka dan surat ancaman itu ditas lo? Gue orangnya.” Ujarku lagi.
“Tapi kenapa?” Tanya juli.
“Lo masih Tanya kenapa?? karena gue benci sama lo, sama mulut lo yang tiap hari kerjaannya menghina dan ngomongin orang itu” jawabku lagi penuh emosi.
“Dan sekarang waktu yang tepat untuk mengakhiri hidup lo Juli” ujarku tertawa penuh kemenangan, sedangkan Juli hanya menangis ketakutan sambil berteriak minta pertolongan.
Aku mulai menggoreskan pisauku di sekitar bibir Juli, darah segar mengucur deras dan Juli hanya meringis kesakitan. Aku terus melakukannya hingga bibirnya tidak berbentuk lagi. dan terakhir, aku menancapkan pisauku diperut Juli hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku tertawa penuh kemenangan melihat keadaan Juli yang sudah tidak berdaya. Namun tiba-tiba tawaku terhenti saat ku dengar sebuah kaki tidak sengaja menginjak ranting yang terdapat di gudang itu dan ku yakini ada orang lain selain aku dan Juli di gudang ini. Tidak salah lagi, aku melihat sebuah sepatu yang sepertinya tidak asing bagiku. Iya itu sepatu Nia, cewek cupu itu. Aku segera menghampirinya yang sedang berusaha melarikan diri, tapi sayang, kecepatannya tidak dapat menandingiku yang memang atlet dalam berlari.
“Ngapain lo di sini hah? mau jadi pahlawan?” tanyaku pada Nia yang sudah ada dalam cengkramanku.
“Lo pembunuh Yuki.” Ujar Nia dengan gemetar.
“Iya gue emang pembunuh, dan itu impian gue dari dulu. Membunuh orang yang seharusnya tidak pernah hadir ke muka bumi ini, termasuk lo!!” ujarku pada Nia.
Tidak sempat Nia berbicara lagi, ia sudah menghembuskan nafas terakhirnya karena pisau yang ku pegang telah berpindah ke perut Nia.
Aku pun pergi meninggalkan mayat Nia dan mayat Juli di gudang itu. Aku pulang kerumah dan melihat orang yang telah menghilangkan nyawa ibuku seperti biasanya tengah terkapar karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. Terlintas di benakku untuk mengirimnya ke neraka saat ini juga. Lalu ku ambil pisau yang ku gunakan untuk membunuh Juli dan Nia dari saku rokku, lalu ku tancapkan diperut laki-laki sialan itu sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Aku tertawa puas dengan semua yang telah ku lakukan, dan inilah aku, seorang pembunuh. Aku telah membunuh orang yang sangat aku benci, aku telah membunuh orang yang ingin menjadi temanku, aku telah membunuh orang yang telah menghilangkan nyawa ibuku, dan terakhir, aku telah membunuh diriku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar